Aturan Pengguguran Kandungan di RKUHP Tidak Berpihak kepada Korban Perkosaan
SIARAN PERS, Jakarta, 12 Desember 2017
Rumusan RKUHP membuat anak perempuan dan perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan akibat pemerkosaan serta tenaga kesehatan yang memberikan pertolongan maupun pendampingan dapat dikenai sanksi pidana.
Pengaturan pengguguran kandungan dalam RKUHP terdapat dalam dua bab, yaitu BAB XIV tentang Tindak Pidana Kesusilaan Bagian Keenam tentang Pengobatan yang Dapat Mengakibatkan Gugurnya Kandungan (Pasal 501) dan BAB XIX tentang Tindak Pidana terhadap Nyawa Bagian Kedua tentang Pengguguran Kandungan (Pasal 589, 590, 591, dan 592). Perumusan pasal itu sangat ketat dan kaku sehingga tidak memungkinkan dilakukannya pengguguran kandungan dengan alasan apapun, termasuk atas pertimbangan kesehatan perempuan. Rumusan RKUHP tersebut sangat bertentangan dengan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan serta mengatur tindakan pengguguran kandungan yang diperkenankan untuk kasus perkosaan dan indikasi kedaruratan medis.
Selain itu, pengguguran kandungan juga sudah diatur dalam peraturan turunan UU tersebut, yaitu PP No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan Permenkes No. 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan yang menjelaskan lebih lanjut mengenai prosedur pemberian layanan ini. Dalam peraturan itu, telah diatur ketentuan layanan pengguguran kandungan aman yang bertujuan untuk menyelamatkan perempuan berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan atau kehamilan akibat perkosaan dengan menggunakan metode minim risiko, dilakukan oleh orang terlatih atau terampil, dengan persetujuan perempuan, dan memenuhi syarat dan cara yang dibenarkan oleh peraturan perundangan terkait.
Berdasarkan direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan kata kunci aborsi, ditemukan 5 kasus kriminalisasi terhadap tenaga kesehatan yang membantu kasus pengguguran kandungan selama periode 2012 sampai 2016, yang pada kenyataannya tentu lebih banyak dari laporan tersebut. Kasus kriminalisasi terhadap tenaga kesehatan menyebabkan penolakan untuk memberikan layanan pengguguran kandungan yang aman. Hal itu berimplikasi terhadap keselamatan jiwa anak perempuan dan perempuan, khususnya perempuan korban perkosaan dan perempuan hamil dengan indikasi kedaruratan medis. Akibatnya, perempuan akan mencari akses pengguguran kandungan tidak aman yang berisiko menyebabkan komplikasi, kecacatan, hingga kematian.
Seharusnya, UU dan KUHP dirumuskan dan disahkan semata-mata untuk perlindungan terhadap masyarakat Indonesia, dalam hal ini khususnya perlindungan akan kesehatan dan kesejahteraan perempuan. Oleh sebab itu, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Women on Web (WoW), Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), Aliansi Satu Visi (ASV), dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP menuntut dengan tegas bahwa RKUHP pasal 501, 589, 590, 591 perlu dihapuskan atau disesuaikan dengan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebagai upaya memberikan kesempatan kepada anak perempuan dan perempuan korban perkosaan dan/atau perempuan yang terancam jiwanya karena kedaruratan medis.